Novel Fredy S Yang Berjudul Tante 16 [BEST]
13 Nov 2017 . Novel Fredy S Yang Berjudul Tante Marissa > abella danger timeless episode timeless 11 wii music novel fredy s.. Baca novel tante marisa karya freddy s . Marisa, Freddy S Tante Marisa Download, Baca Novel Freddy S Berjudul Marisa, Baca Novel Fredy S Tante Marisa.. 21 Okt 2012 . Fredy S merupakan seorang novelis kondang di era tahun 1980-an. . Salah satu novel Fredy S yang berjudul "Tante Marissa", bercerita.. Cerita dari Blora 6968 Eng cinta, aku kan kicap jalil, novel fredy s berjudul marissa 955 date added tuesday 77 september, 99 love 955 Date Added Tuesday 77.. 6 Mar 2013 . 6 Juli 2008 : Marisa memandang jalan dari kaca mobil tanpa antusias. Hari ini papa dan . judul : Menembus waktu. . Tante sarah cemas tandi mencari den william, tapi skrg tante sudah perggi lagi. . Connecting to %s. 33e5841960
novel fredy s yang berjudul tante 16
*koleksi "baru" saya*Sudah sejak lama saya mencari novel-novel Fredy S bahkan ketika masih kuliah di S1. Akhirnya, setelah mencari sekian lama, saya menemukan dua novel Fredy S berjudul Nilai-Nilai Kesetiaan dan Senja Berkabut Sutera beserta bonus novel Nani Rahaju yang ditulis Motinggo Boesje. Ketiga buku ini terkubur di salah satu sudut kota Jogja yang permai. Saya lupa tahun berapa persisnya ketika membaca sebuah novel karya Fredy S atau saya kira Fredy S. Yang jelas waktu saya sudah bisa membaca dan mengerti bahwa isi novel itu banyak dibumbui erotisme. Novel itu saya temukan diatas tumpukan buku kuliah kakak Enni, saudara saya. Keadaan novel itu agak menggenaskan. Sampulnya agak koyak disana-sini. Judulnya pun sudah hampir lupa, yang jelas ada kata "gairah"-nya. Awalnya saya hanya iseng baca-baca(ada memang suatu masa dimana anak kecil ingin membaca segala hal) namun lama-kelamaan, kok isinya jadi "sesuatu" sekali? Maka mengertilah saya mengapa sampulnya koyak disana-sini. Mungkin si Kakak takut kedapatan Ibu.Well, itu sepenggal memori saya tentang novel-novel yang dikatakan terlarang bagi usia di bawah 17 tahun. Toh pada kenyataannya ketika duduk di bangku SMA dan teknologi sudah mulai canggih, saya dan teman-teman SMA sudah tidak mendapatkan buku-buku Fredy S lagi. Zaman kami dikenal dengan suatu web cerita porno yang disandi dengan judul "Cerita 5". Saya penganut paham "Ketidaktahuan membuat kita ingin mencoba" dan rupanya itu pula yang dianut teman-teman saya yang lain. Kami semua perempuan dan sudah paham bahwa seks adalah makanan tubuh. Persoalannya kami diikat dengan norma dan budaya untuk menjaga keperawanan sampai menikah nanti. Maka tidak seperti teman-teman laki-laki kami yang sampai berani main ke you-know-what, kami lebih memilih menikmati seks dalam bentuk deskripsi cerita yang menghasilkan fantasi. Meski efeknya hanya sesaat. Toh kami puas juga. Dan setelah itu bosan. "Cerita 5" kemudian berganti dengan film-film romantis yang dibumbui adegan erotis. Beberapa teman saya mulai yang paling alim sampai yang paling nakal sekalipun punya folder khusus. Kami tidak menyukai film porno yang terlalu vulgar. Rasanya seperti menonton film edukasi bagaimana orang melakukan fertilisasi. Tidak ada estetiknya. Ah iya, disitulah saya paham bahwa film porno memang film yang berfungsi untuk praktikum (khususnya untuk pasutri), tetapi kami tidak mencari praktek kami mencari esensi tentang apa itu seks. Dan walaupun hasilnya semu, seperti semua anak perempuan yang dididik dalam budaya "timur", kami hanya sanggup menunggu sampai waktunya tiba.Kembali pada novel Fredy S, saya memang baru baca dua judul diatas. Tapi sama sekali tidak ada adegan yang dibilang erotis-erotis itu. Entah kode erotis saya berbeda dengan mereka yang dulu membacanya tapi jika dibandingkan dengan novel metropop zaman sekarang, malah novel yang sekarang jauh lebih erotis. Selain Fredy S, nama Motinggo Boesje lebih klasik lagi dalam penulisan novel erotis. Boesje memulainya pada dekade 60-an. Maka dalam novel Nani Rahaju itu masih kental dengan penulisan ejaan lama yang campur aduk dengan serapan bahasa Belanda. Jika kita ingin membaca zaman, maka bacalah novel yang terbit di setiap zaman itu (ini juga berlaku pada lagu). Novel Boesje maupun Fredy S meskipun terpaut 20-30 tahun namun memuat satu pola yang sama: penekanan pada keperawanan perempuan. Perempuan wajar saja terlibat asmara dengan laki-laki. Namun jika laki-lakinya sudah mulai "berani", konflik tokoh perempuannya diperhadapkan dalam dilema untuk menjaga kesuciannya atau melepasnya. Sebagian tetap menjaga namun lebih besar lagi yang terenggut paksa. Usia yang dijangkau dalam novel-novel ini terbilang muda yaitu 17 tahun keatas (muda bagi zaman saya, tapi sudah tua di zaman om-tante-kakak). Bahkan tokoh Nani Rahaju berusia 23 tahun dan kuliah di UGM. Memang corak yang paling terlihat dan bahkan mungkin yang membuat kedua pengarang ini dijuliki penulis novel erotis karena pendeskripsian ceritanya memang mengandung unsur erotis meskipun sama sekali tidak vulgar. Misalnya kata "ujar Nina" yang umum dalam percakapan diganti dengan "desah Nina". Tapi wajar juga sih mengingat film-film 70-80an tokoh-tokohnya kalau ngomong suka mendesah-desah. Adegan yang dibilang erotis itu hanya berpuncak pada ciuman. Bandingkan dengan cerita Antologi Rasa-nya Ika Natassia. Bukan lagi ciuman, tapi gaya seks bebas sudah menjadi barang biasa dalam setting yang dipilih Ika. Maka, jelaslah perbedaan zaman antara kakak-kakak kita dengan kita atau bahkan adek-adek kita nanti. Ada memang degradasi nilai-nilai "ketimuran" yang muncul dalam novel-novel metropop bahkan yang paling mencolok adalah budaya konsumerisme yang dipromosikan di dalamnya (sampai jerit-jerit histeris kalau lihat counter Zara, Jimmy Choo, atau Victoria Secret di Mall namun merunduk seperti putri malu takkala tahu harganya jutaan rupiah). Meskipun saya kecewa karena mitos novel erotis Fredy S tidak sesuai ekspektasi saya, paling tidak novel-novel ini sukses membuat saya kembali ke masa ketika saya masih kecil (khusus untuk novel Boesje, saya mendapat gambaran kehidupan sosialita di tahun 60-an). Sebuah nostalgia untuk masa yang tidak akan pernah sama lagi sekalipun gaya fashion tetap berulang.salam hangat,Meike
Belenggu merupakan salah satu novel Indonesia oleh Armijn Pane. Diilhami oleh teori psikoanalisis milik Sigmund Freud, novel ini menceritakan cinta segitiga antara seorang dokter, istrinya, dan temannya; cinta segitiga ini akhirnya membuat semua mereka kehilangan orang yang paling dicintai. Pertama kali diterbitkan oleh majalah sastra Poedjangga Baroe dalam tiga bagian dari April hingga Juni 1940, Belenggu merupakan satu-satunya novel yang diterbitkan majalah tersebut dan novel psikologis Indonesia pertama.
Setelah diselesaikan, Belenggu ditawarkan kepada Balai Pustaka, penerbit resmi negara Hindia Belanda, pada tahun 1938. Namun, buku ini ditolak karena dianggap tidak bermoral. Novel ini kemudian diambil oleh Poedjangga Baroe. Pada awalnya, penerimaan Belenggu oleh masyarakat cukup beragam. Pihak yang mendukungnya beranggapan bahwa novel ini benar-benar mencerminkan konflik yang dihadapi para intelektual Indonesia, sementara yang menolak beranggapan bahwa novel ini porno karena memasukkan tokoh pelacur dan tema perselingkuhan. Tanggapan sekarang lebih positif, dengan penulis Muhammad Balfas menyebutnya "novel Indonesia terbaik dari sebelum perang kemerdekaan".[1] Belenggu sudah diterjemahan dalam berbagai bahasa, termasuk bahasa Inggris.
Menurut Bakri Siregar, seorang kritikus sastra Indonesia sosialis yang aktif dengan Lekra, Armijn dipengaruhi teori Sigmund Freud akan psikoanalisis; dia menulis bahwa hal ini paling menonjol dalam tokoh Sumartini.[8] Dua karya Armijn yang ditulis sebelumnya, "Barang Tiada Berharga" (1935) dan "Lupa" (1936), mempunyai aspek plot yang mirip dengan Belenggu. "Barang Tiada Berharga" juga mempunyai tokoh dokter dan istrinya, yaitu Pardi dan Haereni, yang digambarkan dengan watak yang mirip Sukartono dan Sumartini, sementara "Lupa" memperkenalkan tokoh utama Sukartono.[9] Sebab pemerintah Hindia Belanda melarang pembahasan politik dalam sastra, Armijn membatasi sindiran pada sistem kolonial dalm novel.[10]
Belenggu sering menggunakan tanda elipsis dan monolog untuk mencerminkan konflik batin tokoh masing-masing, sehingga kritikus sastra Indonesia berasal Belanda A. Teeuw menyatakan bahwa novel ini adalah "monolog interior bercabang tiga".[11] Berbeda dari karya-karya yang diterbitkan Balai Pustaka, yang merupakan penerbit milik negara Hindia Belanda, Belenggu tidak menjelaskan semua aspek cerita; hanya aspek kunci dikemukakan, dengan aspek lain diisi sendiri oelh pembaca. Ini membuat pembacaan menjadi lebih aktif.[12]
Berbeda dari penulis novel Balai Pustaka, Armijn tidak menggunakan peribahasa; dia lebih menekankan penggunaan simile. Cara lain yang menunjukkan perbedaan gaya tulis Armijn dengan penulis-penulis Balai Pustaka ialah dengan membatasi penggunaan bahasa Belanda murni; sebelumnya penulis seperti Abdul Muis dan Sutan Takdir Alisjahbana menggunakan bahasa kolonialis itu untuk menggambarkan sifat tokoh utama yang intelektual. Sementara, dalam Belenggu Armijn menekankan bahasa serapan, sehingga edisi-edisi awal memuat daftar istilah yang berisikan istilah-istilah yang baru atau sulit.[1][13] Siregar menulis bahwa bahasa Armijn lebih mencerminkan penggunaan bahasa Indonesia sehari-hari.[13]
Menurut Yapi, judul Belenggu mencerminkan konflik batin yang dihadapi semua tokoh utama, sehingga mereka terbatas dalam perilaku mereka. Yapi menunjuk pada klimaks novel sebagai contoh baik akan keterbatasan itu.[14] Menurut Siregar, hal ini didukung oleh dialog antara Siregar antara Hartono dan Sukartono, di mana mereka beranggapan bahwa manusia selalu dibelenggu oleh kenangannya akan masa lalu.[15]
Belenggu diserahkan kepada Balai Pustaka pada tahun 1938 untuk diterbitkan, tetapi tidak diterima sebab dianggap berlawanan dengan moral umum;[19] hal ini disebabkan penggambaran perselingkuhan sebagai hal yang umum, bahkan menjadi bagian penting dalam alur. Akhirnya novel ini diterbitkan oleh majalah Poedjangga Baroe, yang Armijn telah bantu mendirikan pada tahun 1933, dan diterbitkan dalam bentuk serial dari bulan April sampai Juni 1940.[17][19] Belenggu adalah satu-satunya novel yang diterbitkan majalah sastra itu,[19] dan merupakan novel psikologis Indonesia pertama.[20]